Kamis, 16 Mei 2024

Fieldtrip

 

Fieldtrip, study tour atau piknik biasa dilakukan sekolah di akhir tahun Pelajaran. Entah kenapa saya lebih suka pakai istilah fieldtrip atau kunjungan lapangan. Mungkin karena tour atau piknik berkonotasi sekedar jalan-jalan atau senang-senang saja.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kebanyakan study tour dilaksanakan sebagai bentuk tasyakur atau syukuran atas pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama setahun masa pelajaran.

Seperti itulah yang pernah saya alami. Sewaktu SD dulu saya piknik ke Jogjakarta dan sekitarnya (Candi Borobudur, Malioboro). Saat SMP kelas III piknik ke Bandung dan sekitarnya (Museum Geologi, Ciater, Gunung Tangkuban Perahu). Dan waktu SMA kelas III piknik ke Bali.

Dari pengalaman piknik tersebut, saya menyimpulkan sedikit sekali konten kegiatan dari sejak berangkat hingga pulang yang nyambung dengan materi pelajaran saat belajar di sekolah. Inilah hal esensial dari kegiatan study tour yang lebih patut diperbincangkan. Bukan hanya sisi teknisnya seperti yang baru viral sekarang. Walaupun hal teknis yang berjalan saat ini juga sangat perlu dievaluasi.




Mestinya, fieldtrip harus terkait erat dengan kegiatan pembelajaran yang berjalan. Fieldtrip bisa menjadi salah satu sarana untuk mengefektifkan proses pembelajaran yang dijalankan.

Berdasarkan pengalaman, setidaknya ada tiga manfaat yang bisa didapatkan dari kegiatan fieldtrip.

Pertama, fieldtrip menjadi sarana bagi siswa untuk mendapatkan data awal untuk menyiapkan pikiran saat masuk ke materi pelajaran baru. Konon, belajar akan efektif saat pelajar memiliki kesiapan untuk belajar. Diantara bentuk kesiapan adalah memiliki pengetahuan awal dari materi yang akan dipelajari. Ibaratnya seperti gelas yang setengah isi, bukan gelas kosong.

Kedua, fieldtrip memberikan pengalaman langsung. Istilah kerennya experiental learning. Siswa diberikan kesempatan untuk mengalami suatu kondisi tertentu yang menjadi dasar terbentuknya pengetahuan dalam nalar mereka. Hal ini juga berkesesuaian dengan teori pembelajaran konstruktivisme.

Ketiga, fieldtrip kaya sumberdaya pembelajaran. Dengan berbagai pengalaman nyata dan persoalan yang dihadapi akan mengaktifasi seluruh modalitas belajar yang ada dalam diri siswa sehingga bisa menumbuhkan kemampuan untuk bersikap presisi, bernalar kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, berkreasi, dan berinovasi.

 



Secara teknis fieldtrip tidak harus selalu dilaksanakan secara klasikal atau rombongan. Fieldtrip juga bisa dilaksanakan oleh kelompok kecil atau bahkan individual.

Fieldtrip tidak selalu harus dengan pendampingan guru. Orangtua, saudara atau kerabat bisa saja dilibatkan untuk mensukseskan kegiatan fieldtrip.

Sehingga, secara biaya fieldtrip pun tidak harus mengeluarkan biaya yang besar.

Fieldtrip perlu mempertimbangkan jenjang usia belajar. Pilihan destinasi, moda transportasi juga perlu disesuaikan dengan umur peserta. Sehingga selama fieldtrip siswa benar-benar mendapatkan banyak inspirasi, ide baru yang membuatnya lebih semangat dan challenging untuk terus belajar.



By the way, ini hanya sekedar urun rembug saja dari seorang guru biasa.

Kuncinya, semua stakeholder pendidikan perlu terus semangat belajar untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas pendidikan Indonesia. Keep going growth to ‘Indonesia Gemilang 2045’.

Semangat!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar