Fieldtrip, study tour atau piknik biasa
dilakukan sekolah di akhir tahun Pelajaran. Entah kenapa saya lebih suka pakai
istilah fieldtrip atau kunjungan lapangan. Mungkin karena tour atau piknik
berkonotasi sekedar jalan-jalan atau senang-senang saja.
Berdasarkan pengalaman dan
pengamatan, kebanyakan study tour dilaksanakan sebagai bentuk tasyakur atau
syukuran atas pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama
setahun masa pelajaran.
Seperti itulah yang pernah saya
alami. Sewaktu SD dulu saya piknik ke Jogjakarta dan sekitarnya (Candi
Borobudur, Malioboro). Saat SMP kelas III piknik ke Bandung dan sekitarnya
(Museum Geologi, Ciater, Gunung Tangkuban Perahu). Dan waktu SMA kelas III
piknik ke Bali.
Dari pengalaman piknik tersebut,
saya menyimpulkan sedikit sekali konten kegiatan dari sejak berangkat hingga
pulang yang nyambung dengan materi pelajaran saat belajar di sekolah. Inilah hal
esensial dari kegiatan study tour yang lebih patut diperbincangkan. Bukan hanya
sisi teknisnya seperti yang baru viral sekarang. Walaupun hal teknis yang
berjalan saat ini juga sangat perlu dievaluasi.
Mestinya, fieldtrip harus terkait
erat dengan kegiatan pembelajaran yang berjalan. Fieldtrip bisa menjadi salah
satu sarana untuk mengefektifkan proses pembelajaran yang dijalankan.
Berdasarkan pengalaman, setidaknya ada
tiga manfaat yang bisa didapatkan dari kegiatan fieldtrip.
Pertama, fieldtrip menjadi sarana
bagi siswa untuk mendapatkan data awal untuk menyiapkan pikiran saat masuk ke
materi pelajaran baru. Konon, belajar akan efektif saat pelajar memiliki
kesiapan untuk belajar. Diantara bentuk kesiapan adalah memiliki pengetahuan
awal dari materi yang akan dipelajari. Ibaratnya seperti gelas yang setengah
isi, bukan gelas kosong.
Kedua, fieldtrip memberikan
pengalaman langsung. Istilah kerennya experiental learning. Siswa diberikan
kesempatan untuk mengalami suatu kondisi tertentu yang menjadi dasar terbentuknya
pengetahuan dalam nalar mereka. Hal ini juga berkesesuaian dengan teori pembelajaran
konstruktivisme.
Ketiga, fieldtrip kaya sumberdaya pembelajaran.
Dengan berbagai pengalaman nyata dan persoalan yang dihadapi akan mengaktifasi
seluruh modalitas belajar yang ada dalam diri siswa sehingga bisa menumbuhkan
kemampuan untuk bersikap presisi, bernalar kritis, berkomunikasi,
berkolaborasi, berkreasi, dan berinovasi.
Secara teknis fieldtrip tidak harus
selalu dilaksanakan secara klasikal atau rombongan. Fieldtrip juga bisa
dilaksanakan oleh kelompok kecil atau bahkan individual.
Fieldtrip tidak selalu harus dengan
pendampingan guru. Orangtua, saudara atau kerabat bisa saja dilibatkan untuk
mensukseskan kegiatan fieldtrip.
Sehingga, secara biaya fieldtrip
pun tidak harus mengeluarkan biaya yang besar.
Fieldtrip perlu mempertimbangkan
jenjang usia belajar. Pilihan destinasi, moda transportasi juga perlu
disesuaikan dengan umur peserta. Sehingga selama fieldtrip siswa benar-benar
mendapatkan banyak inspirasi, ide baru yang membuatnya lebih semangat dan
challenging untuk terus belajar.
By the way, ini hanya sekedar urun rembug saja dari seorang guru biasa.
Kuncinya, semua stakeholder pendidikan
perlu terus semangat belajar untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas pendidikan
Indonesia. Keep going growth to ‘Indonesia Gemilang 2045’.
Semangat!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar