Rabu, 12 November 2025

Ayah, jangan biarkan ibu sendiri

Ayah, jangan biarkan ibu sendiri


Setelah sekian purnama vakum akhirnya kami berusaha menulis lagi. Pas, hari ini bertepatan dengan hari ayah nasional

Beberapa waktu lalu kami berkesempatan membersamai para orang tua wali murid sebuah TK Islam di Pantura wilayah timur mengikuti kegiatan sekolah orangtua yang diadakan oleh Yayasan.



Sebagaimana pengalaman kami sebelumnya, selalu peserta didominasi oleh ibu-ibu. Kenapa bisa begitu, ya?

Kami menduga ada dua kemungkinan keadaan;

Pertama, ayahnya sangat sibuk bekerja sampai harus merantau jauh dari rumah dan merasa yang penting sudah mencukupi kebutuhan materi keluarga sudah cukup sehingga menyerahkan sepenuhnya Pendidikan anak kepada ibu. Jadi, ayahnya ada tapi rasanya seperti tidak ada.

Kedua, ayahnya memang tidak ada karena sudah meninggal atau pisah dengan ibu.

Keadaan tersebut diatas, memaksa seorang ibu menjadi single parent. Tentu berat, dan pasti berdampak pada tumbuh kembang anak.

Idealnya, seorang anak mendapatkan sentuhan pendidikan dari kedua orangtuanya. Ketika salah satu atau bahkan keduanya tidak ada, maka mereka tetap memiliki kebutuhan yang sama yaitu interaksi dengan seorang ayah dan ibu.

Fenomena yang sering disebut fatherless saat ini sudah memakan banyak korban. Ada anak yang kena virus LGBT, ada yang mengalami split personality atau secara umum muncullah generasi strawberry generasi yang kelihatan baik diluarnya, tapi ternyata jiwanya rapuh mudah putus asa dan menyerah saat menghadapi permasalahan dalam kehidupan.



Seorang ayah disadari atau tidak menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas fenomena tersebut. Walaupun semua pihak juga perlu mengambil bagian peran untuk membantu mengatasi. Seperti yang dilakukan sekolah dengan mengadakan sekolah orangtua. Kegiatan ini sangat bisa diduplikasi lembaga yang ada di lingkungan masyarakat seperti PKK atau RT. Apalagi di daerah yang saat ini mendapatkan subsidi dana untuk operasional kegiatannya.

Intinya, semua pihak perlu turut andil. Karena untuk mendidik seorang anak tidak cukup dengan orangtua sekampung, apalagi dengan single parent? Iya khan!.

Kamis, 29 Mei 2025

The Backpacker

The Backpacker


Ini nie salah satu gaya belajar di sekolah alam yang unik dan keren

Saat sekolah lain mengakhiri akhir tahun ajaran berjibaku dengan soal diatas kertas, siswa Sekolah Muda Mandiri (setingkat SMA) melanglangbuana melintasi pulau
Ada banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari kegiatan backpacker seperti ini
Dari saat membuat plan banyak yang mereka pelajari; memahami geografis daerah yang dituju, membuat plan moda transportasi yang dipilih, mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan. Biasnya tidak cukup dengan satu plan tapi perlu ada plan b, plan c dst yang semuanya membutuhkan input ilmu pengetahuan sehingga otomatis mereka mengakses berbagai sarana literasi
Belum lagi saat pelaksanaan backpacker. Pastinya akan banyak hal yang mereka alami. Karena dalam perjalanan walaupun sudah direncanakan dengan matang selalu ada masalah yang muncul diluar dugaan. Hal itu memberikan bonus ilmu pengetahuan dan pengalaman yang baru semakin mengkayakan dan mendewasakan kepribadian
Bang Lendo Novo (Allah yarhamhu) dulu pernah bilang ke saya backpacker itu menduplikasi kebiasaan ras terbaik yang pernah ada di bumi yang diantara aktifitasnya sepanjang tahun adalah mengadakan perjalanan (tadabburi Qur'an surat alquraisy) yang diantara keturunan terbaik mereka adalah Baginda Rasulullah Saw yang di usia beliau sekira 12 tahun beliau sudah melakukan perjalanan ribuan kilometer
Kalo kita pengen generasi penerus memiliki kekuatan tidak hanya pengetahuan tapi juga mental dan berbagai keahlian maka seringlah ajak mereka backpacker -an seperti para ranger sekolah muda mandiri ini
Bravo Sekolah Muda Mandiri
Zawwadakumullahu taqwa, wa ghofara dzanbakum, wayassara lakumulkhair haitsuma kuntum

Kamis, 14 November 2024

50 juta per semester

Coba katakan maksimal dengan dua kata judul diatas! Banyak banget, mahal banget, deelel

Kakak sedang bahas apakah?

Let story begin...

Beberapa hari lalu, dek Inab (nama panggilan untuk putri ketiga kami) sempat ikut acara semacam openhouse fakultas kedokteran di sebuah Perguruan Tinggi (PT)

Actually, dia sangat bersemangat ikut acara tersebut karena sejak dari SD memang pengen banget bisa menjadi dokter. Bahkan sempat aktif ikut ekskul dokter kecil.



Di kegiatan tersebut dia diajak keliling kampus, ditunjukkan beragam kegiatan perkuliahan, dan seterusnya. termasuk yang cukup excited yaitu dia sempat memegang mayat yang digunakan untuk praktek.

Ketika pulang tak lupa pihak PT membawakan brosur untuk diberikan kepada orangtua.

Sesampai di rumah dek Inab cerita panjang lebar pengalamannya ikut acara tersebut.

Tapi pada akhirnya dia sendiri yang memutuskan untuk tidak jadi ambil kuliah jurusan kedokteran karena biaya yang sangat mahal.

Semester awal (1&2) harus bayar semesteran sebesar lebih dari 90 juta. Semester 3 dan seterusnya 50 juta per semester.

Mungkin nilai segitu bagi sebagian orangtua terhitung kecil. Tapi bagi orangtua yang penghasilannya hanya sedikit diatas UMK tentu sangat besar. Bahkan nilai segitu bisa jadi hampir sama dengan total penghasilannya setahun.

Bagaimana tidak, misal penghasilan bulanan 4 juta jika dikali 12 bulan maka ketemu 48 juta. Malah lebih kecil dari harga SPP satu semester di fakultas kedokteran.

Finally,

“Ya sudah dek, kita cari jurusan lain saja yang masih relate dengan bakatmu”, kataku menghiburnya.

Satu semester 50 juta bagi kami saat ini ibarat 'bagai pungguk merindukan bulan'. 

Mungkin bagi PT harga segitu sengaja ditetapkan untuk menyeleksi anak siapa yang bisa masuk kesitu.

Apakah benar seperti itu pendidikan dijalankan?

Bagaimana menurut kalian, netizen